Sejarah Gereja

Sejarah

PENGANTAR
Melihat kawasan Mangga Besar secara parsial, tidak bisa dipisahkan dari kota Jakarta (dahulu disebut Batavia) secara keseluruhan, apalagi dengan pendekatan historis yang memerlukan pengamatan yang luas. Nama “Batavia” hanya dipakai sampai tahun 1942, setelah itu nama kota tersebut berubah menjadi “Djakarta”, dalam bahasa Melayu-Betawi. Pada tahun 1971 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan melakukan penyempurnaan Ejaan Lama menjadi Ejaan Yang Disempurnakan sehingga berubah menjadi “Jakarta”.

Peran besar bangsa Belanda bagi Batavia adalah menjadikannya sebuah kota Metropolis dan pusat pemerintahan sejak jaman kolonial (masa VOC 1619- 1799; masa peralihan 1800-1816; masa Hindia Belanda 1816-1942). Pasca kolonial pun, akhirnya masih dilanjutkan sebagai Ibukota Negara yang disebut Indonesia. 8]

LATAR BELAKANG SEJARAH PELAYANAN GEREJA KATOLIK DI KALANGAN ETNIS TIONGHUA DI BATAVIA TAHUN 1900 – 1930AN 9]

Wilayah Mangga Besar sebagai Wilayah Gereja Partikular memang sedikit dicatat dalam dokumen atau pemberitaan. Wilayah Mangga Besar adalah bagian dari Gereja Katedral, sebagai cikal bakal Gereja Misi di Batavia dan juga Nusantara.

Pastor H. Kortenhorst, SJ awal mulanya berkarya di antara orang Tionghoa di Bangka sejak tahun 1877, kemudian dipindahkan ke Batavia pada tahun 1898 dan memulai katekumenat / evangelisasi di antara kaum imigran berbangsa Tionghoa di “Toko Tiga”- Glodok dan beliau meninggal pada tahun 1917. Data memperlihatkan bahwa lebih dari 1.000 orang Tionghoa antara Oktober 1902 – Januari 1903 minta dipemandikan. Sekitar tahun 1903-1913 (dalam buku permandian) tercatat 67 permandian orang dewasa dan 35 permandian anak-anak.

Dinamika selanjutnya dikatakan bahwa di Batavia, karya misi di antara orang- orang etnis Tionghoa baru mulai sekitar tahun 1932. Rentang waktu antara meninggalnya Pastor H.Kortenhorst,SJ., misa di antara orang Tionghoa ditelantarkan sehingga tidak ada karya khusus di kalangan etnis Tionghoa sampai tahun 1932.

Kontak dengan kalangan etnis Tionghoa hanya dilakukan di sekolah-sekolah Katolik. Kontak-kontak semacam inilah yang kemudian memunculkan adanya kelompok- kelompok kecil etnis Tionghoa yang diterima di pangkuan gereja. Kurangnya pastor pada waktu itu merupakan kendala utama sehingga umat Katolik etnis Tionghoa kurang mendapatkan pelayanan. Pada Tahun 1932, tahun “Rahmat”, datanglah Pastor Edwards Cappers, MSC (Misionaris Hati Kudus).

Sebelumnya beliau berkarya di daerah kepulauan Kei dan Papua. Kepindahannya ke Batavia disebabkan faktor kesehatan. Di Batavia, beliau sebenarnya ditugaskan untuk membantu pastor Baptist, MSC di Centraal Missie Bureau (Kantor Waligereja) di Jalan Gunung Sahari 82. Karena pelayanan misa waktu itu hanya dengan bahasa Belanda, padahal banyak umat yang tidak dapat berbahasa Belanda, maka pastor Edwards Cappers, MSC mulai kontak dengan umat Katolik etnis Tionghoa, Flores, Kei dan lain-lain serta mengadakan pelayanan misa di Mangga Besar dengan bahasa Melayu. Pada tahun yang sama, bersama-sama kelompok umat Katolik Mangga Besar, terbentuklah Stasi Mangga Besar dan Stasi Tanjung Priok, yang berinduk pada Paroki Katedral. Kehidupan umat Katolik pada waktu itu (terutama kaum pribumi dan etnis Tionghoa) semakin berkembang dan membutuhkan pelayanan secara intensif, maka kedua pastor inilah yang kemudian ditugaskan untuk menggembalakan umat Katolik di Pelabuhan Tanjung Priok.

Tanah sekolah HCS (Hollandsch Chineesche School) atau Sekolah Budi Mulia sekarang yang berada di kawasan Mangga Besar adalah tanah milik paroki Katedral yang dijual ke tarekat bruder-bruder Budi Mulia (Bruder-bruder van dongen waktu itu) yang membutuhkan tanah untuk sekolah. Itu terjadi pada hari Sabtu, 30 Juli 1932. Alasan penjualan tanah ini adalah karena “PGDP” Katedral mempunyai hutang banyak untuk membangun Gereja Theresia dan reparasi barang-barang berat pada Gedung Katedral.

Tepat pada tahun 1932, Tarekat BM (Kongregasi Bruder-Bruder Budi Mulia) datang dan atas dukungan sepenuhnya dari Pastor Stenrnberk, maka dibangunlah Gedung Sekolah yang disebut HCS (Hollandsch Chineesche School) yang diberkati dan diresmikan pada hari Selasa, 27 Juni 1933. Sekolah ini diperuntukkan bagi keturunan etnis Tionghoa di Prinsenlaan No.135 (kini disebut Mangga Besar) di samping Rumah Sakit “Yang Seng Ie” (kini disebut Rumah Sakit Husada). Mereka juga mengadakan misa mingguan berbahasa Latin dan Melayu yang dipimpin oleh Pastor Edwards Cap- pers, MSC dan Pastor Baptist,MSC. Misa perdana diadakan pada hari Minggu, 3 Feb- ruari 1935 dan secara bertahap misa diadakan di Aula Sekolah Boedi Moelia (sebagai Gereja Darurat” pertama dengan status “hulpkerk Prinsenlaan”, gereja pembantu alias stasi) yang terus dipakai sampai dengan hari Minggu, 16 Juli 1950.

Sebagai Kepala Sekolah pada waktu itu adalah Bruder Hermenigild dan dibantu oleh Bruder Ulpinus dan Bruder Felix sebagai guru. Sekolah ini dimulai dengan kelas persiapan, kelas satu dan kelas dua untuk anak-anak Sekolah Dasar bagi keturunan etnis Tionghoa. Pada hari Senin, 26 Februari 1934, sekolah ini diakui oleh Departemen Pengajaran dan Kebudayaan. Kemudian sekolah ini sempat terhenti pada tahun 1942 sampai dengan tahun 1945 disebabkan para bruder di Jakarta ditangkap oleh pasukan penjajah Jepang. Gedung sekolah HCS itulah yang dipakai pertama kalinya sebagai “Gereja Darurat” pertama untuk misa bersama setiap hari Minggu oleh Pastor Edwards Cappers, MSC dari Katedral (mantan misionaris dari kepulauan Kei).

Pada tahun 1935, misa dipindahkan ke pendopo sekolah. Karena misa di Prinsenlaan No.135 satu-satunya yang berbahasa Melayu di Batavia, maka misa ini sebulan sekali disiarkan melalui radio oleh NIROM (Nederlandsch Indie Radio Omroep Maatschappij). Jumlah umat pada saat itu ± 500 orang yang sebagian besar etnis Tionghoa berbahasa Melayu. Sementara itu bruder dan koster yang membantu Pastor Edwards Cappers, MSC ditugaskan menghitung jumlah umat yang datang setiap minggunya dalam misa untuk dilaporkan ke Pastor Katedral. Ini kemudian berguna untuk rekomendasi bahwa karya pastoral di Mangga Besar itu bermanfaat. 10]

Ditulis dalam buku Sejarah Gereja Katolik Indonesia, bahwa “Gereja Darurat” pertama Stasi Mangga Besar pada tahun 1938, menggunakan pendopo sekolah HCS. Menurut buku tersebut, Pastor H.Kortenhorst, SJ adalah pastor pertama yang berkarya di kalangan etnis Tionghoa.

Pada tahun 1938 perkembangan umat semakin besar. Selain di paroki Katedral, para pastor diserahkan tugas untuk membuka paroki baru di Kemakmuran. Menurut catatan dari G. Vriens, SJ dalam Het Bestuur o.c. Sint Claverbond 52 (1940), paroki itu diserahkan kepada pastor Edwards Cappers, MSSC. 11] . Oleh karena itu, pastor Edwards Cappers, MSC juga ikut pindah ke sana.

Di tahun yang sama terjadilah pergantian pastor untuk kerasulan bagi kalangan etnis Tionghoa. Pengganti pastor Edwards, MSC adalah pastor Leo Michael Ignatius Marie Zwaans, SJ yang baru saja pindah dari Semarang ke Batavia. Di Semarang sebelumnya, Pastor Leo Zwaans, SJ juga berkarya di kalangan etnis Tionghoa.

Pastor Leo Michael Ignatius Marie Zwaans, SJ

Komunitas orang Tionghoa di daerah Kota (calon Mangga Besar) masih dilayani oleh Pastor Jesuit dari Katedral, yaitu Pastor Leo Zwaans, SJ yang melayani umat etnis Tionghoa di daerah Kota itu. Perayaan misa mingguan dilakukan di Aula Sekolah Boedi Moelia.

Monseigneur (Mgr.) Peter J. Willekens, SJ (3 Oktober 1934 – 1952: Vikaris Apostolik Batavia yang ke 6) memberi amanat: “ Gereja pembantu itu harus berkembang menjadi Gereja berdikari, Gereja berbahasa Melayu yang pertama ……..” . Visi meleset, tapi sejarah berjalan merangkak.

Sesudah masa kemerdekaan, pada hari Kamis, 20 September 1945 tibalah Bruder Constantinus di rumah Bruderan Gunung Sahari No. 91 yang sudah ditinggalkan oleh pasukan Jepang. Dengan dibantu rekan-rekannya rumah tersebut diperbaiki sehingga layak untuk dihuni. Selanjutnya Bruder Constantinus yang mengelola dan senantiasa memberikan dukungan karya di Mangga Besar. Ia tinggal serumah dengan Bruder Justinianus yang menjadi pimpinan SD Boedi Moelia, Bruder Sigismund menjadi kepala SMP Boedi Moelia tahun 1965. Pada tahun yang sama, Bruder Sigismund mempunyai ide untuk mendirikan SMA. Sebidang tanah di depan gedung SD dianggapnya cukup untuk membangun gedung SMA, maka pada tahun 1965 didirikanlah gedung SMA dan pada tahun 1966 gedung itu sudah dapat dipakai untuk kegiatan SMA (tempat gedung tersebut sekarang sebagai tempat parkir) dan Bruder Sigismund inilah yang menjadi direkturnya. Sekitar tahun 1988 dibangunlah gedung yang lebih layak. Pada hari Senin, 14 Agustus 1989, Gedung SMA diresmikan oleh Mgr. Leo Soekoto, SJ (Uskup Agung Jakarta : 21 Mei 1970 – 10 Nopember 1995).

Pada tahun 1939, ketika Provinsial Suster – Suster Penyelenggaraan Ilahi Belanda (PI), Sr. Vincentia datang untuk visitasi, Pastor Leo Zwaans, SJ mengajukan permohonan beberapa Suster PI (Tarekat Penyelenggaraan Ilahi) berkarya di antara umat Tionghoa miskin di daerah Mangga Besar – Jakarta Barat. Permohonan yang sama juga diajukan oleh Mgr. Peter J. Willekens, SJ kepada Sr. Vincentia dan baru dapat dipenuhi pada tahun 1951 karena terhalang Perang Dunia II serta situasi pasca perang yang belum jelas.

Pada tahun 1951 Kongregasi Penyelenggaran Ilahi (PI) membuka karya kerasulan di Jakarta dengan menempati komplek Sekolah Santo Yosep. Di komplek ini terdapat sekolah, rumah tinggal suster dan juga sebuah ruangan sederhana yang berfungsi Kapel. Pada hari Jumat, 6 Juli 1951, sebagian murid putri dari sekolah Boedi Moelia di Jalan Mangga Besar Raya No. 135 dipindahkan ke Sekolah Santo Yoseph – Dwiwarna, dan pada bulan Desember 1951, semua murid putri dan murid TK dari sekolah Boedi Moelia dipindahkan ke Sekolah Susteran.

Pada awal tahun 1952, Biara “Divina Providentia” dari Suster-Suster Penyelenggaraan Ilahi (PI) yang beralamat di Jalan Dwiwarna II No. 46 mulai dihuni. Pada hari Minggu, 20 Januari 1952, Kapel, Biara dan Sekolah diberkati oleh Mgr. Peter J. Willekens, SJ. Keesokan harinya Pastor Leo Zwaans, SJ mempersembahkan Misa Pertama di Kapel. Pada hari Rabu, 19 Maret 1952, Pesta Pelindung Santo Yoseph dirayakan dengan kegembiraan hati dan sangat meriah yang menambah semangat dan kesatuan untuk terus berjuang.

Sekolah ini berlindung kepada Santo Yoseph (lebih dikenal “SANYO” di kalangan siswa-siswi) dan dikelola oleh Yayasan Penyelenggaraan Ilahi-Indonesia yang pada waktu itu bernama : “Yayasan Divina Providentia”, yaitu sebuah Yayasan Pendidikan milik Tarekat para Suster Penyelenggaraan Ilahi.

Nama Santo Yoseph merupakan usulan dari Suster Inigo, PI. Beliaulah perintis dan pemrakarsa sekolah ini. Sejak berdirinya, sekolah ini hanya menerima pelajar putri. Pada tahun 1965 sekolah ini mempunyai 40 pelajar putri saja.

Pada hari Senin, 23 Juli 1956, diberitahukan oleh Depdikbud bahwa SD harus mempunyai sekolah siang dan harus dibuka SMP untuk tahun ajaran baru. Sejak hari Rabu, 8 Agustus 1956 SMP Santo Yoseph ini berdiri, murid mulai banyak datang dan memenuhi ruangan. Dengan demikian sekolah KB, TK, SD dan SMP Santo Yoseph makin lama makin berkembang hingga saat ini.

(KB,TK,SD, SMP Santo Yoseph : Minggu, 17 November 2019)

Selain pastoran di sekolah, para suster memperhatikan umat yang berbahasa Mandarin karena daerah Mangga Besar merupakan daerah “Pecinan”. Kapel sekolah setiap hari Minggu dimanfaatkan untuk perayaan ekaristi dalam bahasa mandarin, karena paroki Mangga Besar – Jakarta Barat belum mempunyai tempat sendiri pada waktu itu, maka Kapel Susteran ini dimanfaatkan.

(Romo Hendra, CDD memimpin misa di Kapel Santo Yosep : Minggu, 17 November 2019)

Pada tahun 1957 “Gereja Darurat” pertama di pendopo Sekolah Boedi Moelia menambah jumlah misa dalam bahasa Indonesia karena jumlah umat yang semakin bertambah dan akibatnya misa dalam bahasa Mandarin yang biasanya dilaksanakan pada pukul 08.00 dipindahkan ke pukul 10.00. Adanya perubahan waktu tersebut, membawa konsekuensi yang besar. Sebagaimana kita ketahui, sebelum konsili Vatikan II, dalam Tradisi Gereja Katolik pada waktu itu, ada aturan puasa 12 jam sebelum misa. Maka dengan perubahan itu, berarti umat yang berbahasa Mandarin dan ingin mengikuti misa bahasa mandarin harus mulai puasa sejak pukul 10.00 malam sampai esok pagi jam 10.00. Hal ini amat berat dan menjadi persoalan bagi umat berbahasa Mandarin terutama yang sudah berusia lanjut. Menghadapi kesulitan ini, Romo Agustinus Phan Liang Ching, Pr menyampaikannya kepada Mgr. Adrianus Djajasepoetra, SJ.

Suster Andriani, PI sebagai pimpinan komunitas Penyelenggaraan Ilahi pada saat itu memberikan ijin untuk memakai ruangan kelas Santo Yoseph yang berada di dalam komplek Sekolah Santo Yoseph – Dwiwarna. Hal ini juga didukung dan diberikan ijin oleh Mgr. Adrianus Djajasepoetra, SJ.[Vikaris Apostolik Jakarta ke-8 dan terakhir (Tahun 1953-1961) dan kemudian diangkat menjadi Uskup Agung Pertama (tahun 1961-1970)]. 12]

Mgr. Adrianus Djajasepoetra, SJ († 1980) Vikaris Apostolik Jakarta (1953 – 1961)

Pastor Leo Zwaans, SJ kemudian membentuk semacam dana untuk mendirikan sebuah gereja baru di Prinsenlaan No. 26 untuk mengganti tempat yang semula di pendopo HCS (dahulu di Prinsenlaan No. 135). Beliaulah yang kemudian membangun cikal bakal Paroki Mangga Besar. Karena pada waktu itu situasi negara juga tidak begitu baik, dalam artian Perang Dunia II sudah dimulai dengan kedata- ngan Jepang, maka pendirian gereja baru tidak dapat segera dilaksanakan. 13]

MEMASUKI SAAT TAK MENENTU KARENA PERANG DUNIA II

Ada fenomena menarik ketika Gereja Stasi Mangga Besar – Jakarta masih berupa “Gereja Darurat” pertama. Karena dalam situasi perang, maka banyak pastor Belanda diinternir (ditahan di dalam kamp interniran) oleh Dai Nippon sejak pendudukan Batavia 05 Maret 1942 dan keadaan ini berlanjut sampai tahun 1945. Pada masa itu (tahun1943-1945) di seluruh Jakarta, tinggallah seorang sekretaris bersama Uskup yaitu Pastor Leo Zwaans, SJ yang tidak boleh keluar rumah. Pastor ini tidak diperbolehkan mengadakan perayaan misa di Katedral. Pada tahun 1943 Romo B. Soemarmo, SJ memimpin umat paroki Katedral dan bergerak dengan bebas. Beliau adalah romo Jesuit pribumi pertama berkarya di Jakarta (tahun 1943- 1946 dan wafat pada tahun 1971). Rm. B. Soemarmo, SJ (pastor rekan Mgr. Peter J.Willekens, SJ) yang diperbantukan untuk misa di Mangga Besar – Jakarta Barat sebulan sekali dan beliau diserahkan tugas untuk melayani seluruh umat Katolik dari Kampung Sawah hingga Mangga Besar.

Rm. B. Soemarmo, SJ

Tergeraklah beberapa toko Tionghoa awam untuk menggembalakan umat yang kehilangan pastornya, maka diangkatlah PGDP dari beberapa kaum awam yang berkecimpung dalam pelayanan gereja pada saat itu. Dalam majalah Kontak, No.1 Tahun 1981 disebutkan nama-nama berikut:

  1. Tuan Joseph Lo Siauw Sien menjabat sebagai pemimpin umum, administrasi dan keuangan
  2. Johanes Tan Giok Sie menjabat sebagai pengurus gedung dan kunjungan rumah
  3. Andreas Auw Jong Peng Koen menjabat sebagai pengurus ibadat dan pelajaran agama 14]
  4. Bapak Poedjowijatno dan Tan Jan Djwan menjabat sebagai rekan kerja Andreas Auw Jon Peng Koen, serta
  5. Nyonya Yap menjabat sebagi pengurus paduan suara

Misa kudus diadakan 2 (dua) bulan sekali, tiap minggu Ibadat Sabda dengan pengkot- bah bergantian : Bapak Andreas Auw Jong Peng Koen (Petrus Kanisius Ojong) 15] dan Bapak Peodjowijatno dan Bapak Tan Jan Djwan. Bapak Tan Jan Djwan dan Nyonya Yap bergantian memimpin koor.

Bapak Andreas Auw Jong Peng Koen

GEMBALA YANG BERKARYA PERTAMA DI PAROKI MANGGA BESAR

“Gereja Darurat” kedua didirikan di halaman pastoran di jalan Prinsenlaan No. 26 yang diberkati oleh Mgr. Peter J.Willeken, SJ pada hari Minggu tanggal 16 Juli 1950 yakni hampir 10 tahun setelah tanah dibeli.

Pada tahun 1948 Paroki Mangga Besar mencakup ± 1.200 umat beriman Katolik, yang sebagian besar terdiri dari kalangan etnis Tionghoa, Flores dan Timor. Karena kesulitan bahasa, pewartaan hanya dilaksanakan di antara orang Tionghoa yang berbahasa Melayu sampai Jesuit yang diusir dari Tiongkok tiba (tahun 1949-1952). Adapun para pastor yang ditugaskan di kawasan Mangga Besar sejak Perang Dunia II sampai sekitar tahun 1950-an akhir dapat disebutkan nama-nama seperti:

  1. Pastor Leo Michael Ignatius Marie Zwaans, SJ (Belanda) yang diangkat sebagai Pastor Kepala sejak tahun 1946
  2. Pada tahun 1947 awal, beliau dibantu oleh Pastor Wilhelmus Krause Van Eeden, (Belanda)
  3. Pada tahun 1947, Pastor Laurentius Van der Werf, SJ (Belanda) datang
  4. Pada hari Kamis, 10 Februari 1949 ditempatkanlah Pastor Conradus Braunmandl, SJ (Austria) yang fasih berbahasa Mandarin untuk melayani umat Mangga Besar berbahasa
  5. Ada satu lagi imam yang diusir dari Negeri Tirai Bambu oleh pemerintah Seorang imam asal daratan China datang ke Jakarta yakni Romo Agustinus Phan Liang Ching, Pr. Ia ditahbiskan di Hongkong pada tanggal 6 Juli 1952. Menurut penuturan romo Sutopanitro, Pr (Pastor Paroki Katedral), beliau adalah seorang imam kelahiran Aceh yang terpaksa lari dari RRC ke Jakarta – saat komunis berjaya. Beliau diterima sebagai Imam Diosesan – Jakarta dan atas undangan Mgr. Peter J. Willekens, SJ. Pada hari Kamis, 24 Juli 1952 ia kembali ke Jakarta untuk melayani umat berbahasa Mandarin di paroki Mangga Besar dan sekaligus meneruskan karya misi pastor Conradus Braunmandl, SJ di kalangan etnis Tionghoa.

Pelajaran agama diorganisir untuk kelompok anak-anak kecil, anak-anak besar dan muda-mudi. Berkat kaum awam seperti yang disebutkan di atas itulah “kawanan kecil” Petrus dan Paulus dapat bertahan dalam masa serba sulit itu. Bahkan “Gereja Darurat” pertama yang berada di aula Sekolah Boedi Moelia itu dapat mereka pertahankan meskipun halaman sekolah disita oleh Jepang dan dijadikan perluasan Rumah Sakit “Yang Seng Ie” (Rumah Sakit Husada sekarang). 16]

(Sekolah Budi Mulia dan Rumah Sakit Husada : Minggu, 17 November 2019)

Pada tahun 1949, ketika Negeri Tirai Bambu dikuasai komunisme, semua hal yang berbau agama dilarang dan diawasi dengan ketat. Beberapa misionaris yang berkarya di China diusir. Mereka pun tersebar ke berbagai negara, termasuk Indone- sia. Tiga misionaris Yesuit yang berkarya di China adalah Pastor Leo Zwaans, SJ (Belanda), Pastor Conradus Braunmandl, SJ (Austria) dan Pastor Carolus Staundinger, SJ (Austria). Ketiga imam ini merupakan perintis gereja, sekolah dan asrama bagi orang Hoakiauw (Tionghoa Perantauan) di Jakarta yang diberi tugas oleh Vikaris Apostolik-Jakarta, Mgr. Peter J. Willekens, SJ.

Para misionaris ini melihat banyak sekali umat Katolik keturunan etnis Tionghoa di sekitar kawasan Mangga Besar – Jakarta Barat tidak fasih berbahasa Indonesia. Sehari-hari menggunakan bahasa Mandarin, namun tidak ada pelayanan rohani bagi mereka. Mereka pandai berbahasa Mandarin tetapi tidak dapat mempergunakan bahasa itu untuk memuji dan memuliakan Tuhan dan disamping itu pula banyak diantara mereka belum mengenal Kristus.

Pastor Conradus Braunmandl, SJ menilai bahwa seharusnya umat Katolik yang pandai berbahasa Mandarin dapat mempergunakan bahasa ini untuk mewartakan Injil bagi orang Tionghoa yang belum mengenal Kristus. Setelah beliau mengadakan pendataan, maka terkumpullah ± 20 orang. Maka untuk pertama kalinya, diselenggarakanlah misa dalam bahasa Mandarin yang dipusatkan di pendopo Sekolah Boedi Moelia. Pada waktu itu liturgi masih menggunakan bahasa Latin, tetapi nyanyian dan homili sudah menggunakan bahasa Mandarin.

Pada tahun 1950, tibalah juga Pastor Conradus Staundinger, SJ , Pastor Antonius Loew, SJ dan Pastor Joannes Zheng Zhao Ming yang diusir dari RRT. Mgr. Peter J. Willekens, SJ membeli tanah di daerah “Pecinan” lebih ke Utara yang disebut Kom- plek Toasebio. Bahkan pada tahun 1955 dibangunlah sebuah gereja Santa Maria de Fatima.

Pada tahun 1960, kapel yang diberi nama Santo Yoseph selesai dibangun dan berada di dalam komplek sekolah Santo Yoseph tersebut sebagaimana tertulis dengan jelas pada sebuah prasasti yang diletakan di tembok pintu masuk sebelah kiri kapel: “Tua Providentia pater gubernat” [ (Gedung ini dibangun demi kemuliaan Tuhan dan untuk kesejahteraan umatNya) Djakarta, Rabu 23-02-1960 ].

Hingga kini, kapel ini masih dipakai untuk pelayanan Misa bagi umat berbahasa Mandarin. Pada tahun 1985, karya ini diserahkan kepada iman tarekat CDD (Congregatio Dicipulorum Domini / Kongregasi Murid-murid Tuhan) berlokasi di Wisma Imam CDD di Jalan Dwiwarna Raya I No.20. 17]

(Wisma Imam CDD : Minggu, 17 November 2019)

Pada tahun 1954, pastor Matthias Leitenbauer, SJ (alias “Lei Sinfu”) tiba di Jakarta, juga ikut bergabung untuk pelayanan rohani umat berbahasa Mandarin. Maka dimulailah secara lebih intensif pewartaan Injil kepada masyarakat Tionghoa di Jakarta. Dengan demikian pewartaan Injil untuk orang-orang Tionghoa mulai mendapat perhatian besar dari Gereja Indonesia – Keuskupan Agung Jakarta.

Pastor Matthias Leitenbauer, SJ († 1968) Di “Gereja Darurat” Kedua di Jl. Prinsenlaan No.26

Gerakan karya misi ini mau memantapkan ciri khas tradisi etnis Tionghoa bukan sebagai golongan tertentu tetapi menjadi dimensi yang memperkaya wajah Keuskupan Agung Jakarta, maka sekarang pelayanan misi berbahasa Mandarin juga sudah berkembang ke paroki – paroki lain.

Pada tanggal 22 Juli 1962, Romo Agustinus Phan Liang Ching, Pr menggantikan Pastor Lie di Medan. Diadakan pesta perpisahan di kapel Santo Yoseph – Dwi warna, sekaligus misa meriah dipersembahkan juga untuk bersyukur atas 10 tahun imamat beliau. Pesta perpisahan dihadiri oleh pastor Robertus Bakker, SJ., Pastor Joannes ten Berghe, SJ., Pastor Fredericus Middendorp, SJ., Pastor Villavinzenzo, Pastor Laurentius Van der Werf, SJ dan komunitas katolik berbahasa Mandarin.

Pastor Agustinus Phan Liang Qing, Pr pernah berkarya di paroki Mangga Besar pada tahun 1981 dan sekaligus melayani umat Katolik berbahasa Mandarin di kapel Santo Yoseph. Umat terus bertambah dari pertama dibentuk sekitar 50 orang, lambat laun telah mencapai ratusan orang. Maka dibentuklah Pengurus Gereja Katolik berbahasa Mandarin Trinitas untuk membantu Reksa Pastoral Umat Mandarin.

Rm. Agustinus Phan Liang Ching, Pr adalah juga pendiri Yayasan Pendidikan Santo Leo (lebih dikenal: “SANLE” di kalangan siswa-siswi) di Mangga Besar, Jakarta Barat.

Pada awal mulanya, Yayasan Pendidikan Santo Leo hanya menyewa sebuah gedung di Jalan Mangga Besar, tepatnya di Gedung Pomindo. Sekolah Santo Leo semakin berkembang hingga gedung yang disewa itu tidak dapat lagi menampung semua kegiatan pendidikan yang diselenggarakan. Berkat bantuan Bapak Uskup Agung Jakarta, Mgr Leo Soekoto,SJ., Yayasan Pendidikan Santo Leo dapat menempati tempat seperti sekarang ini, tepatnya di Jalan Mangga Besar Raya No. 43 Jakarta Barat.

(TK, SD, SMP, SMA, SMK Santo Leo : Minggu, 17 November 2019)

Yayasan Pendidikan Santo Leo diresmikan pada Jumat, 10 Agustus 1984 oleh Bapak Uskup Agung Jakarta Mgr. Leo S. Beberapa bulan sesudahnya, tepatnya Sabtu tanggal 6 Oktober 1984 pukul 07.00 pagi, beliau meninggal dunia.

Sementara itu Pastor Laurentius Van der Werf,SJ menjadi Pastor Kepala menggantikan Pastor Leo Michael Ignatius Marie Zwaans, SJ pada tahun 1954. Pada masa inilah Paroki Toasebio – Santa Maria de Fatima sebagai “Anak” baru pertama yang dipisahkan dari paroki Mangga Besar, tepatnya pada hari Rabu, 14 September 1955. Buku baptis dimulai pada hari Sabtu, 31 Maret 1956.

Pastor Laurentius Van der Werf, SJ († 2003) Dengan scooternya mondar-mandir di antara beberapa paroki di Jakarta Utara

Pada tahun 1959 terjadi pergantian Pastor Kepala (hoofdpastor), pastor Laurentius Van der Werf, SJ diganti Pastor Robertus Bakker, SJ. Beliaulah yang kemudian membangun cikal bakal paroki Pademangan sekarang. Tepat pada hari Senin, 15 Agustus 1960, Pastor Robertus Bakker, SJ menempati Stasi Rajawali alias Kalimati alias Pademangan. 7 (tujuh) tahun kemudian stasi Rajawali menjadi Paroki Pademangan – Santo Alfonsus Rodriques, yang dimulai dengan ibadat (misa) perdana. Dengan demikian, paroki Mangga Besar sudah melahirkan “anak” baru kedua pada tanggal 2 September 1967.

Dalam majalah Kontak disebutkan bahwa lahan di Prinsenlaan No. 26 diperuntukan Gedung Pastoran (1946-1950). Serambi muka pastoran dijadikan kapel untuk misa harian. Sedangkan “Gereja Darurat” pertama masih tetap di Prinsenlaan No. 135 (pendopo Sekolah Boedi Moelia). Namun dalam majalah yang sama disebutkan bahwa pernah akan dibangun sebuah gereja di Prinsenlaan No. 28. 18] Tetapi itu tidak terjadi karena hanya akan dibuat sebagai gedung pastoran. Misa mingguan tetap diadakan di Prinsenlaan No. 135. Juga ada keterangan bahwa pernah akan dibeli tanah di daerah Kebon Jeruk dan di sudut Gang Labu / Molenvliet (kini hotel Jayakarta) karena rencana untuk membangun gereja di Prinsenlaan No. 26 tidak mendapat sambutan yang baik. 19]

Karena kerepotan dengan dua tempat yang berbeda untuk Gedung Pastoran dan Gereja, maka diputuskan oleh Pengurus Gereja Dana Papa (PGDP) Katedral untuk membangun “Gereja Darurat” kedua yang terbuat dari tiang kayu, dinding tembok setengah batu dan atap genteng di halaman pastoran ukuran 15 x 21 m2 di jalan Prinsenlaan No. 26 pada tahun 1950 di atas tanah “Eigendom”. Pembangunan gereja darurat kedua ini dimulai sekitar 1 Maret 1950 dan pelaksana pembangunan gereja diserahkan kepada Tuan Lie Soen Giap Pemilik “ELKA” Biro Arsitek dan Pemborong Bangunan (Architecten &Aannemers Bureau) – Raden Saleh Djakarta Telp. 1541 Gambir.

Dengan pinjaman dari PGDP sebesar ƒ 60.000 (gulden), “gereja darurat” kedua dapat didirikan. Pada hari Minggu, 16 Juli 1950, Mgr. Peter J. Willekens, SJ memberkati “gereja darurat” kedua tersebut. 20] Disebutkan pula bahwa pada tahun 1962 diputuskan untuk membangun gereja permanen di halaman Prinsenlaan No. 26. Gambar rencana memperlihatkan sebuah gedung gereja bersegi enam di halaman muka dan di belakangnya sebuah gedung bertingkat: bagian bawah untuk gedung paroki, bagian atas untuk pastoran. 21] Rencana itu tidak jadi dilaksanakan juga karena secara tak terduga Pastor Robertus Bakker, SJ mendapat tawaran lahan di Mangga Besar No. 55 yang halamannya lebih luas.

Pemberkatan “Gereja Darurat” kedua Oleh Mgr. Peter J. Willekens, SJ

Data di atas dikuatkan oleh keterangan yang diperoleh saat wawancara dengan pemilik salah satu “Barber Shop dan pegawai bea cukai yang berada di daerah itu. Keterangannya: sampai dengan “gereja darurat” kedua, setelah memakai gedung HCS (pendopo sekolah Boedi Moelia), gereja sebagai tempat peribadatan pindah ke daerah Prinsenlaan No. 26 22] yang lebih ke arah Barat, yang sekarang menjadi jalan Mangga Besar No. 26 di dekat kali beton atau Gang Sumur Bor (kebanyakan orang menyebutnya).

Keterangan mengenai posisi gereja darurat kedua di halaman pastoran di jalan Prinsenlaan No. 26 diperkuat oleh keterangan dari Ibu Mira (pemilik King`s Barber Shop) jalan raya Mangga Besar No. 26) dan Bapak Budi (Pegawai Bea Cukai, di jalan Mangga Besar No. 26 yang gedungnya berdampingan dengan King`s Barber Shop.

Tanah yang di sekitar Gang Sumur Bor itu juga bernama Gang Gereja karena dahulu merupakan bangunan gereja setelah pindah dari pendopo HCS (Sekolah Boedi Moelia, dekat RS. Husada sekarang).

Menurut keterangan dari Bapak Budi, tanah gereja itu sekarang menjadi ruko dan kantor yang bernomor 26 sampai dengan 30 (R.M. Padang “Sederhana”). Ceritanya tanah itu setelah dijual oleh pihak gereja, kemudian dibeli oleh “Tunas Kudus” (sebuah CV atau apa kurang jelas) dan kemudian oleh “Tunas Kudus” dijual kepada beberapa pihak menjadi kompleks perumahan (agak ke belakang), ruko dan perkantoran (dekat jalan raya, termasuk “Kings`s Barber Shop”, Kantor Bea Cukai,

LETAK GEOGRAFIS PAROKI MANGGA BESAR DAN KONTEKS HISTORISNYA

Menurut Tata Kota dan Peta (denah) kolonial Hindia Belanda, daerah Mangga Besar berada di luar Benteng Kota. 24] Menurut peta dan sebuah lama daerah ini disebut “Prinsenlaan”. Daerah itu berada di sebelah Selatan Kota (Lama) berbatasan dengan Glodok di sebelah Barat Laut.

  1. Sebelah Utara berbatasan dengan jalan Pangeran Jayakarta
  2. Sebelah Selatan berbatasan dengan daerah Taman Sari dan Kebon Jeruk (dua daerah ini sebenarnya masih dalam wilayah Mangga Besar namun berbeda namun berbeda Kelurahan) sampai dengan Krekot dan Pasar Baru (Jalan Sukarjo Wiryopranoto – K.H. Samanhudi)
  3. Sebelah Timur berbatasan dengan Jalan Gunung Sahari
  4. Sebelah Barat berbatasan dengan Jalan Hayam Wuruk – Jalan Gajah Mada (Molenvliet sebutan jaman dulu). 25]

Mengapa daerah itu banyak dihuni kalangan etnis Tionghoa? Padahal menurut sejarahnya, daerah itu di luar benteng Kota Lama. Itu tidak terlepas dari sejarah etnis Tionghoa di Indonesia. Sebelum peristiwa tahun 1740, dimana terjadi pembantaian secara besar-besaran kalangan etnis Tionghoa oleh VOC, mereka dapat hidup di manapun di daerah Kota Lama (di dalam benteng tentunya). Namun pasca tahun 1740 itu, kalangan ini dicap dan dicurigai sebagai golongan pemberontak yang tidak diizinkan lagi menempati daerah dalam Kota.

Apa latar belakangnya? Adolf Heuken, SJ menuliskan bahwa selama bagian pertama abad ke-18 banyak Jung (perahu Tionghoa) sudah berlayar ke Batavia. Mereka membawa barang-barang berharga yang sangat laku diperdagangkan. Tetapi para imigran Tionghoa yang tidak memiliki kompetensi (dari segi kemampuan kerja yang tidak memadai menurut peraturan VOC / Vereenigde Oostindische Compagnie pada waktu itu) ikut serta juga ke Batavia. Padahal tidak mungkin semua orang mendapat pekerjaan di sekitar Batavia. Hal ini ditambah lagi dengan pasaran gula yang sedang goyah pada tahun 1720, sehingga banyak imigran yang bekerja di perkebunan tebu dipecat dan menganggur.

Banyak perampokan dan gangguan sekitar Batavia karena masalah ini. Wewenang Kapiten Tionghoa juga tidak kuat. Ia tidak dapat mengendalikan pemerasan dari kalangan pejabat Belanda terhadap kalangan etnis Tionghoa maupun dari kalangan etnis Tionghoa sendiri yang ikut memeras kalangan sebangsanya. 26]

Pada tahun 1717, didirikan “Gong Goan” atau Dewan Cina atau “Chineeshe Raad”, yang keberadaannya bertahan hingga kependudukan Jepang. Awalnya, ketua Gong Goan dipegang oleh seorang Kapiten, tetapi kemudian diganti oleh Mayor. Tugas sang Mayor dibantu oleh para Kapiten dan Letnan. Para perwira ini merupakan orang-orang terhormat dan kaya di kalangan orang Tionghoa, khususnya di Batavia.

Kawasan Mangga Besar sendiri menurut Mona Lohanda disebutkan sebagai salah satu distrik dari satu divisi di tahun 1906. Waktu itu Batavia dibagi menjadi 4 (empat) divisi (afdeeling):

  1. Di wilayah (divisi) Pusat disebut Stad en Voorsteden
  2. Tangerang di wilayah (divisi) Barat
  3. Meester Cornelis di wilayah (divisi) Timur, dan
  4. Buitenzorg di wilayah (divisi) Selatan

Di samping itu, Distrik Mangga Besar adalah salah satu distrik penting sebagai tetangga distrik yang dihuni banyak kalangan etnis Tionghoa, di samping Kota (Lama), Penjaringan, Tanah Abang, Passer Baroe dan Passer Senen. Daerah itu disebut “Chineeshe Wijken”. Itulah mengapa sampai sekarang daerah itu terkenal dengan daerah “Pecinan” di Batavia. 27]

Sebenarnya yang terkenal di jaman kolonial Hindia Belanda sampai dengan tahun 1940-an mendekati tahun 1950-an adalah daerah Glodok yang terkenal dengan daerah “Pecinan” dan perdagangannya. Daerah Prinsenlaan pada waktu tiut belum begitu banyak disebut-sebut orang.

Paroki Mangga Besar terletak di daerah Jakarta Pusat dan Jakarta Barat, yang mencakup 10 (sepuluh) Kelurahan:

  1. Kelurahan Ancol 
  2. Kelurahan Pinangsia 
  3. Kelurahan Mangga Dua Selatan 
  4. Kelurahan Mangga Besar 
  5. Kelurahan Tangki
  6. Kelurahan Keagungan
  7. Kelurahan Maphar
  8. Kelurahan Karang Anyar
  9. Kelurahan Kartini
  10. Kelurahan Taman Sari

Berdasarkan Surat Keputusan Keuskupan Agung Jakarta No. 473/3.16.39/2017, tertanggal 13 Oktober 2017, disebutkan bahwa Batas-Batas Paroki St. Petrus Paulus – Mangga Besar adalah sebagai berikut:

Batas Utara  : Laut Jawa

Batas Timur : Sungai Ciliwung / Jl. Gunung Sahari Raya Batas Selatan

               : Jl. Kartini 5, Jl.B. Karang Anyar, Jl. Taman Sari, Jl. Taman Sari VI, Jl. Kebon Jeruk III, Sungai antara Jl. Hayam Wuruk & Jl. Gajah Mada, Jl. Kebahagiaan

Batas Barat  : Jl. Tanah Sereal, Jl. Pekapuran I, Jl. Keadilan Raya, Jl. GajahMada – Jl. Pintu Besar Selatan, Jl. Kunir, Jl. Cengkeh, Jl. Tongkol, Pelabuhan Sunda Kelapa

Alamat Paroki Mangga BesarJl. Mangga Besar Raya No. 55 Jakarta Barat 11170.

Telp                                              : 021-6294867

Tepat pada tanggal 3 Januari 1977, Gereja dan Gedung Pastoran yang baru resmi diberkati oleh Bapak Uskup Mgr. Leo Soekoto, SJ dengan nama pelindung paroki St. Petrus dan Paulus. Setiap tanggal 3 Januari diperingati ulang tahun berdirinya Gereja Katolik St. Petrus dan Paulus dan tiap tanggal 27 Juni diperingati sebagai pesta nama Pelindung Paroki. (Menurut tradisi, peringatan khusus bagi kedua rasul agung ini dimulai sejak 29 Juni 1967).

Tags: No tags

Comments are closed.